RM.Torani-Balikpapan

Minggu, 08 Agustus 2010

Memaafkan Memiliki Manfaat Terhadap Kesehatan (Harun Yahya)

Jadilah pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang makruf, serta jangan pedulikan orang-orang yang bodoh. (QS. Al Qur’an, 7:199)
Dalam ayat lain Allah berfirman: "...dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak suka bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang." (QS. An Nuur, 24:22)
Mereka yang tidak mengikuti ajaran mulia Al Qur'an akan merasa sulit memaafkan orang lain. Sebab, mereka mudah marah terhadap kesalahan apa pun yang diperbuat. Padahal, Allah telah menganjurkan orang beriman bahwa memaafkan adalah lebih baik:
... dan jika kamu maafkan dan kamu santuni serta ampuni (mereka), maka sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang. (QS. At Taghaabun, 64:14)
Juga dinyatakan dalam Al Qur'an bahwa pemaaf adalah sifat mulia yang terpuji. "Tetapi barang siapa bersabar dan memaafkan, sungguh yang demikian itu termasuk perbuatan yang mulia." (Qur'an 42:43) Berlandaskan hal tersebut, kaum beriman adalah orang-orang yang bersifat memaafkan, pengasih dan berlapang dada, sebagaimana dinyatakan dalam Al Qur'an, "...menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang lain." (QS. Ali ‘Imraan, 3:134)
Para peneliti percaya bahwa pelepasan hormon stres, kebutuhan oksigen yang meningkat oleh sel-sel otot jantung, dan kekentalan yang bertambah dari keeping-keping darah, yang memicu pembekuan darah menjelaskan bagaimana kemarahan meningkatkan peluang terjadinya serangan jantung. Ketika marah, detak jantung meningkat melebihi batas wajar, dan menyebabkan naiknya tekanan darah pada pembuluh nadi, dan oleh karenanya memperbesar kemungkinan terkena serangan jantung.
Pemahaman orang-orang beriman tentang sikap memaafkan sangatlah berbeda dari mereka yang tidak menjalani hidup sesuai ajaran Al Qur'an. Meskipun banyak orang mungkin berkata mereka telah memaafkan seseorang yang menyakiti mereka, namun perlu waktu lama untuk membebaskan diri dari rasa benci dan marah dalam hati mereka. Sikap mereka cenderung menampakkan rasa marah itu. Di lain pihak, sikap memaafkan orang-orang beriman adalah tulus. Karena mereka tahu bahwa manusia diuji di dunia ini, dan belajar dari kesalahan mereka, mereka berlapang dada dan bersifat pengasih. Lebih dari itu, orang-orang beriman juga mampu memaafkan walau sebenarnya mereka benar dan orang lain salah. Ketika memaafkan, mereka tidak membedakan antara kesalahan besar dan kecil. Seseorang dapat saja sangat menyakiti mereka tanpa sengaja. Akan tetapi, orang-orang beriman tahu bahwa segala sesuatu terjadi menurut kehendak Allah, dan berjalan sesuai takdir tertentu, dan karena itu, mereka berserah diri dengan peristiwa ini, tidak pernah terbelenggu oleh amarah.
Menurut penelitian terakhir, para ilmuwan Amerika membuktikan bahwa mereka yang mampu memaafkan adalah lebih sehat baik jiwa maupun raga. Orang-orang yang diteliti menyatakan bahwa penderitaan mereka berkurang setelah memaafkan orang yang menyakiti mereka. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa orang yang belajar memaafkan merasa lebih baik, tidak hanya secara batiniyah namun juga jasmaniyah. Sebagai contoh, telah dibuktikan bahwa berdasarkan penelitian, gejala-gejala pada kejiwaan dan tubuh seperti sakit punggung akibat stress [tekanan jiwa], susah tidur dan sakit perut sangatlah berkurang pada orang-orang ini.
Memaafkan, adalah salah satu perilaku yang membuat orang tetap sehat, dan sebuah sikap mulia yang seharusnya diamalkan setiap orang
Dalam bukunya, Forgive for Good [Maafkanlah demi Kebaikan], Dr. Frederic Luskin menjelaskan sifat pemaaf sebagai resep yang telah terbukti bagi kesehatan dan kebahagiaan. Buku tersebut memaparkan bagaimana sifat pemaaf memicu terciptanya keadaan baik dalam pikiran seperti harapan, kesabaran dan percaya diri dengan mengurangi kemarahan, penderitaan, lemah semangat dan stres. Menurut Dr. Luskin, kemarahan yang dipelihara menyebabkan dampak ragawi yang dapat teramati pada diri seseorang. Dia melanjutkan dengan mengatakan bahwa:
Permasalahan tentang kemarahan jangka panjang atau yang tak berkesudahan adalah kita telah melihatnya menyetel ulang sistem pengatur suhu di dalam tubuh. Ketika Anda terbiasa dengan kemarahan tingkat rendah sepanjang waktu, Anda tidak menyadari seperti apa normal itu. Hal tersebut menyebabkan semacam aliran adrenalin yang membuat orang terbiasa. Hal itu membakar tubuh dan menjadikannya sulit berpikir jernih – memperburuk keadaan.
Sebuah tulisan berjudul "Forgiveness" [Memaafkan], yang diterbitkan Healing Current Magazine [Majalah Penyembuhan Masa Kini] edisi bulan September-Oktober 1996, menyebutkan bahwa kemarahan terhadap seseorang atau suatu peristiwa menimbulkan emosi negatif dalam diri orang, dan merusak keseimbangan emosional bahkan kesehatan jasmani mereka. Artikel tersebut juga menyebutkan bahwa orang menyadari setelah beberapa saat bahwa kemarahan itu mengganggu mereka, dan kemudian berkeinginan memperbaiki kerusakan hubungan. Jadi, mereka mengambil langkah-langkah untuk memaafkan. Disebutkan pula bahwa, meskipun mereka tahan dengan segala hal itu, orang tidak ingin menghabiskan waktu-waktu berharga dari hidup mereka dalam kemarahan dan kegelisahan, dan lebih suka memaafkan diri mereka sendiri dan orang lain.
Semua penelitian yang ada menunjukkan bahwa kemarahan adalah sebuah keadaan pikiran yang sangat merusak kesehatan manusia. Memaafkan, di sisi lain, meskipun terasa berat, terasa membahagiakan, satu bagian dari akhlak terpuji, yang menghilangkan segala dampak merusak dari kemarahan, dan membantu orang tersebut menikmati hidup yang sehat, baik secara lahir maupun batin. Namun, tujuan sebenarnya dari memaafkan –sebagaimana segala sesuatu lainnya – haruslah untuk mendapatkan ridha Allah. Kenyataan bahwa sifat-sifat akhlak seperti ini, dan bahwa manfaatnya telah dibuktikan secara ilmiah, telah dinyatakan dalam banyak ayat Al Qur’an, adalah satu saja dari banyak sumber kearifan yang dikandungnya.




Senin, 02 Agustus 2010

Manfaatkan Waktumu

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda,”Ada dua nikmat yang sering disia-siakan: waktu luang dan kesehatan.” Pada kesempatan yang lain, beliau juga pernah berpesan,”Ambillah yang lima sebelum datang lima yang lainnya:…waktu luangmu sebelum datang waktu sibukmu.”
Dua penggal sabda Rasulullah diatas secara tegas memerintahkan kita untuk pandai memanfaatkan waktu luang. Setiap manusia memiliki waktu yang sama: 7 hari dalam satu pekan, 24 jam dalam sehari semalam. Kepandaian setiap orang dalam memanfaatkan jatah waktu yang sama itulah yang akan membedakannya dari orang lain.
Ada orang yang dengan 24 jam-nya mampu melakukan 100 kebaikan, sementara ada pula orang yang dengan 24-jamnya hanya mampu melakukan 10 kebaikan. Ada orang-orang yang dalam kesehariannya memiliki produktivitas sampai 100%, dan ada pula orang-orang yang dalam kesehariannya hanya mampu memiliki produktivitas tidak lebih dari 10%. Mengapa bisa demikian? Saya rasa, jawabannya adalah pemanfaatan waktu. Siapa yang paling pandai memanfaatkan waktunya, dialah yang akan memiliki produktivitas paling tinggi.
Nah, diantara kepiawaian memanfaatkan waktu adalah kepandaian dalam memanfaatkan waktu luang. Setiap kita pasti punya waktu luang. Waktu luang itu bisa jadi berupa waktu yang betul-betul luang: tidak ada agenda yang kita miliki ketika itu. Bisa jadi pula waktu luang itu adalah alokasi waktu yang terlalu banyak untuk suatu hal seperti tidur dan bersantai-santai.
Buatlah Perencaanaan
Mengapa ada orang yang bisa sampai merasa tidak punya agenda pada suatu waktu? Mengapa ada orang yang suatu ketika jadi bertanya pada dirinya sendiri: ”Mau ngapain ya saya saat ini?” atau ”Enaknya ngapain ya saat ini?” Saya rasa sebabnya adalah karena yang bersangkutan kurang bagus dalam perencanaan. Seandainya dia me-list segala hal yang semestinya dia lakukan, kemudian mengurutkannya berdasarkan prioritas, saya yakin alokasi waktu yang ada tidak akan cukup menampung semua hal yang telah ia list tadi. Ini artinya mau tidak mau ia harus memangkas beberapa hal yang berada pada urutan paling bawah, yang bisa jadi masih bisa dilakukan pada kesempatan yang lain. Kenyataan seperti ini digambarkan oleh seorang pejuang besar abad ini yang bernama Hasan Al-Banna ketika ia berkata,”Kewajiban-kewajiban kita sesungguhnya lebih banyak daripada waktu yang kita miliki.”
Melihat kenyataan ini, jika ada orang yang pada suatu kesempatan masih sempat merasa bahwa ia tidak punya agenda maka sudah pasti permasalahannya adalah ketidakmampuannya dalam perencanaan agenda. Untuk menyiasati hal ini, sangatlah baik jika setiap orang menyempatkan beberapa saat dari waktunya untuk membuat perencaaan aktivitas. Bila perlu, catatlah diatas kertas perencanaan aktivitas tersebut secara detail. Cara ini cukup handal dalam rangka me-manage diri kita untuk bisa optimal dalam pemanfaatan waktu.
Tinggalkan Hal-hal yang Tidak Jelas Manfaatnya
Ada lagi fenomena lain dari ketidakmampuan seseorang memanfaatkan waktu. Saya sering melihat orang-orang yang menghabiskan sekian lama dari waktunya untuk hal-hal yang tidak jelas manfaatnya. Contohnya: ngobrol kesana-kemari sambil leyeh-leyeh, tidur terlalu banyak, berjam-jam main game, berjam-jam nonton televisi, dan sebagainya. Saya rasa hal-hal seperti ini sangat sering merupakan penyebab habisnya waktu yang kita miliki, tanpa kita sadari. Saya tidak jarang menemui orang-orang yang mengeluh,”Waduh, saya tidak punya waktu nih.” Bahkan sayapun pernah mengalaminya.
Lakukan Semuanya dengan Efisien
Ada lagi orang-orang yang kehilangan waktunya karena ia terlalu boros dalam penggunaan waktu. Yang saya maksud dengan boros disini adalah tidak efisien. Contohnya, menghabiskan waktu empat jam untuk sebuah rapat yang semestinya bisa dilakukan selama satu jam. Rapatnya menjadi berlarut-larut karena masing-masing berangkat menuju rapat dengan pikiran kosong, atau karena metode pembahasannya terlalu bertele-tele dan tidak efisien, atau karena terlalu banyak canda dan tawa didalamnya, atau terlalu banyak debat dan usulan-usulan yang tidak perlu, atau karena sebab-sebab inefisiensi lainnya. Terus terang, saya termasuk orang yang tidak sabaran dengan hal-hal seperti ini.
Jangan Menunda-nunda Pekerjaan
Ketidakpandaian memanfaatkan waktu luang pada dasarnya adalah bom waktu. Jika seseorang tidak bisa memanfaatkan waktu-waktu luangnya untuk menyelesaikan kewajiban-kewajibannya, maka ia harus bersiap-siap menemui suatu waktu dimana kewajiban-kewajiban itu akan bertumpuk dan menindih tubuhnya. Ketika itu ia dipaksa harus menyelesaikan semuanya, banyak sekali, sementara waktu yang ia miliki sangat terbatas. Ketika itulah biasanya ia baru sadar mengapa ia tidak menunaikan kewajiban-kewajiban itu pada waktu-waktu luang yang sebelumnya ia miliki. Ketika itulah ia akan menyesal mengapa ia suka menunda-nunda segala sesuatu atau mengapa ia tidak mampu merencanakan segala sesuatunya dengan lebih baik.
Kesimpulannya: tidak memanfaatkan waktu luang berarti menyengsarakan diri sendiri, dan memanfaatkan waktu luang berarti membuat enak diri kita sendiri.
Jika begini, masihkah kita suka menyia-nyiakan waktu kita? Masihkah kita suka menunda-nunda segala sesuatu?

Haruskah Hidup seperti Air Mengalir...???

Oleh : Final Prajnanta*(Motivator)

Banyak sekali artis terkenal atau public figure yang sering diwawancara wartawan mengenai falsafah hidupnya. Secara klise mayoritas menjawab “Saya akan menjalani hidup seperti air mengalir”. Kedengarannya enak, penuh filosofi dan sedikit puitis. Apakah anda setuju dengan ungkapan tersebut. Mengapa? Apa benar mengikuti aliran air akan membawa kita hidup layak? Mari kita kupas bersama.
Misal anda pengin punya target A. Kita jalani aja hidup apa adanya seperti aliran air. Seandainya aliran air bisa membawa kita sampai ke tempat tujuan yang kita inginkan, wah enak sekali. Seandainya pada saat air mengalir, kita tersangkut di ranting pepohonan di sungai, bagaimana? Atau menuju ke tempat yang tidak kita kehendaki?
Beberapa cerita di bawah ini semoga bisa memberikan inspirasi buat anda.
Sebut saja Vita, seorang gadis desa sekitar 300 km dari Jakarta. Vita memimpikan gemerlapnya kehidupan kota. Dengan bekal pendidikan SMA, Vita bermimpi bekerja ringan dengan bergelimang uang. Ketika ada tawaran bekerja dari rekannya yang sudah ”sukses” di Jakarta, Vita segera menyambar peluang tersebut. Tawaran pekerjaannya sebagai pramuniaga rokok ternyata hanya sekedar kedok belaka. Temannya ”sukses” bergelimang uang dengan kerja ringan karena melakukan pekerjaan sampingan sebagai penghibur “hidung belang”. Namanya toh hidup laksana air mengalir, Vita pun tidak keberatan melakukannya. Impiannya untuk hidup bergelimang uang yang penting tercapai walau jalan airnya tersangkut di lembah kemaksiatan. Vita tidak punya komitmen untuk mencapai goalnya dengan cara-cara yang terpuji!
Contoh lain kita ambilkan dari dunia pertanian. Kita amati petani-petani kita sering latah atau ikut-ikutan. Si Ahmad sukses menanam cabai di musim hujan. Perlu diketahui bahwa sangat sulit untuk sukses menanam cabai di musim hujan. Menanam cabai di musim hujan ibarat melawan arus. Hujan menyebabkan banyak buah yang rontok karena serangan lalat buah dan penyakit patek (Antrachnosa). Pedagang rame-rame mendatangi kebunnya saat itu. Cabainya dihargai Rp 10.000/kg, sementara biaya produksinya Rp 3.000/kg. Jadi, ada selisih Rp 7.000/kg. Bayangkan jika dia menanam 1 hektar yang kira-kira menghasilkan 10 ton cabai? Dalam waktu 3 bulan Ahmad meraup untung Rp 70.000.000 bukan? Musim berikutnya adalah akhir musim hujan, pengelolaan tanaman akan mudah karena musim hujan segera berakhir dan panenan terjadi di musim kemarau.
Ternyata tidak hanya Ahmad yang menanam cabai, semua petani di sekitarnya beralih dari padi ke cabai. Mengapa? Mereka hanyut dalam arus dan mimpi yang indah oleh keuntungan yang diperoleh Ahmad musim lalu. Lagian menanam cabainya lebih gampang karena masuk di musim kemarau. Karena gampang maka semua petani juga menanam. Akibatnya apa? Harga cabai di musim tersebut menjadi hancur, hanya Rp 3.500/kg. Jika saya sebagai petani, mengetahui semua petani menanam cabai maka saya harus berbeda dengan yang lain. Saya akan menanam semangka, kol bunga, melon, tomat atau tanaman lainnya. Jika semua menanam hal yang sama maka harga akan jatuh, hukum ekonomi mengatakan bahwa supply (penawaran) melebihi dari demand (permintaan).
Jika kita memiliki goal yang SMART, maka kita akan tahu ke mana arah yang kita tuju. Memerlukan komitmen dan perjuangan yang keras untuk mencapai goal kita. Di dunia ini tidak ada hasil optimal dengan perjuangan minimal. David. J. Schwartz pernah mengatakan bahwa ”Think little goals and expect little achievements. Think big goals and win big success.” (Pikirkan goal-goal yang kecil dan harapkan hasil yang kecil juga. Pikirkan goal-goal yang besar dan menangkan sukses yang besar pula!).
Kesimpulannya: jangan mengikuti aliran air, karena aliran air belum tentu membawa keberuntungan. Aliran air belum tentu membawa anda ke tujuan yang ingin anda capai!

_____________________________________________________________________________________
Bisakah Kita Hidup Menngalir bagaikan AIR..??
Seorang kawan yang kebetulan sedang menyampaikan materi pelatihan tentang bagaimana hidup ini harus dikelola, sempat agak kurang bahagia mendengar jawaban salah seorang peserta. Saat si kawan ini menanyakan bagaimana Anda menjalani hari-hari di kantor atau di rumah, yang ditanya menjawab begini: “Saya menjalaninya seperti air yang mengalir!”
What …?”, kata kawan saya. “Maksudnya seperti apa? Apakah Anda punya rencana lalu itu Anda jalankan pelan-pelan, seperti air yang mengalir, ataukah Anda sama sekali tidak punya rencana yang Anda perjuangkan sehingga hari-hari Anda mengalir begitu saja?” tanya kawan saya ini yang penasaran ingin tahu penjelasannya lebih lanjut. Setelah dicecar dengan berbagai pertanyaan, ternyata jawaban “Saya menjalaninya seperti air yang mengalir” itu terinspirasi dari ucapan Pak Bob Sadino dalam sebuah seminar yang pernah diikutinya. Memang, dalam berbagai kesempatan, tokoh bisnis yang satu ini, kerap melontarkan pernyataan dan sikap yang nampak sepertinya berlawanan dengan formula manajemen atau juga berlawanan dengan bagaimana umumnya manusia berpikir.
Misalnya beliau lebih dari satu kali mengatakan bahwa hidupnya dan caranya mengendalikan bisnisnya tidak pakai rencana yang benar-benar direncanakan, tapi dijalankan seperti air mengalir. Sampai ada ungkapan begini: “Cukup satu langkah awal. Ada kerikil saya singkirkan. Melangkah lagi. Bertemu duri saya sibakkan. Melangkah lagi. Terhadang lubang saya lompati. Melangkah lagi. Bertemu api saya mundur. Melangkah lagi. Berjalan terus dan mengatasi masalah”, seperti pernah dikutip Majalah Manajemen, PPM. Padahal, jika kita mengacu ke berbagai formula dalam manajemen, supaya hidup kita ini ordered dan dynamic atau terkelola dengan baik (life-management), maka yang dibutuhkan adalah: Planning (rencana pengembangan), Assessing (penilaian diri dan keadaan untuk menemukan titik temu antara rencana, kapasitas, dan keadaan), dan Motivating (bahan bakar, motivasi yang mendorong kita untuk terus maju atau tetap tegar dalam menghadapi masalah).
Yang menjadi pertanyaan adalah, apa benar orang-orang seperti Pak Bob, dan lain-lain itu menjalani hidup bagai air mengalir yang pengertiannya adalah tanpa rencana, tanpa target, tanpa perjuangan, dan seterusnya? Kalau dilihat dari hasil yang diraihnya, mungkin kita perlu melihat penjelasan lain.
“Secara manajemen, supaya hidup kita ini ordered dan dynamic, maka yang dibutuhkan adalah: planning, assessing dan motivating
Skala Keahlian
Di setiap bidang keahlian yang kita tekuni itu ternyata ada tingkatannya atau skala pencapaian, dari yang paling rendah sampai yang paling tinggi. Ini mencakup keahlian mental (
soft skill) atau keahlian kerja (hard skill). Secara umum, indikasi skala rendah atau tinggi itu terletak pada: apakah kita masih mikir dalam menerapkan keahlian itu atau tidak. Misalnya saja keahlian menyetir kendaraan. Ketika kita masih mikir, habis gigi satu itu harus gigi dua, dan seterusnya, berarti skala keahlian kita di situ masih rendah. Tapi jika kita sudah bisa menyetir kendaraan tanpa mikirin teknik-tekniknya, berarti skala keahlian kita sudah tinggi. Semua gerakan sudah diatur oleh naluri yang terlatih. Kalau melihat hasilnya, orang seperti Pak Bob sudah masuk di sini. Cara kerja dunia yang seperti ini diterapkan juga oleh Gordon Training (1970) dalam memformulasi pengembangan skill SDM di perusahaan. Menurut formula mereka, skill SDM harus dikembangkan dengan memperhatikan 4 tahapan berikut ini:
  1. Unconsciously unskilled: mereka belum sadar kalau kompetensinya rendah
  2. Consciously unskilled: mereka sudah mulai menyadari kompetensinya yang rendah lalu memunculkan keinginan untuk belajar / menerima diajar
  3. Consciously skilled: mereka sudah menguasai skill / kompetensi yang diajarkan, namun dalam menerapkannya masih mikir atau lamban karena belum biasa.
  4. Unconsciously skilled: mereka sudah biasa dengan skill baru, menerapkannya tanpa beban atau sudah secara naluri.
Orang yang hidupnya mengalir seperti air, namun prestasinya secara nyata bagus, bisa dimasukkan pada level 4, dalam arti nalurinya sudah bekerja secara otomatis, sehingga tampak tak berpikir dengan serius. Ada penjelasan lain yang juga bisa kita pakai patokan, apakah mengalirnya kita itu karena keahlian yang sudah tinggi atau justru karena tidak peduli. Penjelasan ini mengaitkan bagaimana pengetahuan itu dikuasai manusia. Secara umum, tingkat penguasaan kita terhadap pengetahuan tertentu itu dibagi dua, yaitu:
a) Tacit Knowledge
Secara tingkatan, begitu kita sudah berhasil memiliki pengetahuan itu sebagai
Tacit Knowledge (Tacit: diam-diam, alami), berarti keahlian kita sudah makin tinggi. Oleh Prof. Stenberg (Practical Intelligence, Fall: 2003), ciri-ciri Tacit Knowledge itu antara lain:
  • Ilmu ini sudah berupa prosedur batin tentang bagaimana suatu pekerjaan seharusnya dikerjakan agar tujuan usaha tercapai.
  • Ilmu ini bukan sebuah ilmu yang didapat dari “diajar” oleh orang lain, tetapi buah dari pembelajaran atau penemuan dari ketekunan atau praktek
  • Ilmu ini merupakan pengetahuan tentang hal-hal yang secara personal punya arti tersendiri.
b) Codified Knowledge
Kalau Anda masih memetik gitar menurut formula yang diajarkan di kursus, berati masih berdasarkan
Code (Codified). Tapi jika semua itu bekerja berdasarkan formula batin yang Anda temukan dari latihan dan ketekunan, berari itu sudah Tacit. Banyak pengusaha yang saking sudah biasanya mengkalkulasi peluang sehingga dia bisa melakukannya sambil bercanda atau tidak terlalu serius. Ada penjelasan lain yang bisa kita pakai acuan juga. Ini misalnya dikaitkan dengan cara mengambil keputusan. Menurut bukunya John Arnold (Work Psychology:1977), cara orang mengambil keputusan itu dibedakan menjadi tiga:
  • Rational: mempertimbangkan untung-rugi, kelebihan-kekurangan
  • Intuitive: berdasarkan irama perasaan yang mengilhami seseorang
  • Dependent: menunggu atau melihat keadaan dan reaksi orang lain
Merujuk pada cara di atas, berarti konsep hidup mengalir bagai air itu menjadi kebiasaan yang sangat nyaman bagi orang yang cara mengambil keputusannya lebih mengandalkan intuisi. Semua orang memiliki intuisi, tetapi kadar kecerdasan intuisi manusia berbeda-beda dan perbedaan ini termasuk hak veto Tuhan yang tidak bisa diganggu gugat.
“Banyak pengusaha yang saking sudah biasanya mengkalkulasi peluang sehingga dia bisa melakukannya sambil bercanda atau tidak terlalu serius”
Menjadi Pelarian Sikap Mental
Memang, menurut akal sehat, yang perlu kita jauhi adalah: kita punya konsep hidup mengalir bagai air, namun itu kita lakukan sebagai pelampiasan kemalasan atau ketidakpedulian untuk menggunakan potensi diri guna meraih prestasi yang mestinya bisa kita raih. Lebih tepatnya bisa disebut menghindari perjuangan. Kenapa ini perlu dijauhi? Sampai ini sudah menjadi pilihan kita, maka larinya bukan ke gaya hidup yang “terserah gue dong” itu, melainkan masuk ke wilayah kualitas sikap mental. Secara sikap mental, manusia bisa dikelompokkan menjadi tiga:
  1. Ada manusia yang memperburuk dirinya dengan sikapnya dalam menghadapi hidup, misalnya berpikir tidak punya kelebihan, lari ke hal-hal yang merusak atau menganiaya dirinya sendiri. Dalam agama, sikap seperti ini hukumannya berat.
  2. Ada manusia yang membiarkan hal-hal buruk terjadi karena malas berjuang atau pasrah kalah pada keadaan buruk atau merelakan diri dianiaya oleh faktor eksternal.
  3. Ada manusia yang memilih untuk mencari berbagai jalan keluar (creative) atau berjuang untuk mewujudkan ide-ide positif berdasarkan keadaan dan kapasitasnya atau memberdayakan kapasitas dirinya, orang lain, dan keadaan.
Secara kualitas, sikap mental yang perlu kita miliki adalah yang ketiga. Menurut bukunya Napoleon Hill (You Can Work Your Own Miracles: 1971 ), supaya sikap mental yang ketiga itu kita miliki, syaratnya adalah:
  • Menyalakan keinginan untuk berubah ke arah yang lebih baik secara terus menerus sesuai keadaan dan kemampuan
  • Melatih pikiran (mind) supaya terbiasa memilih tujuan / target / tindakan yang positif
  • Banyak-banyak bergaul atau belajar dengan orang-orang positif
  • Meningkatkan kemampuan mengontrol diri agar tidak mudah larut, hanyut, atau terpengaruh oleh hal-hal negatif
  • Memberikan rangsangan pada pikiran dengan hal-hal positif, misalnya membaca yang memotivasi jiwa, dll.
Bagaimana supaya kita memiliki keinginan yang terus menyala? Untuk anak-anak, caranya adalah dengan melalui pengasuhan orangtua dan sekolah. Tapi, untuk orang dewasa, caranya adalah dengan “memaksa” diri melalui pembiasaan, pemaknaan peristiwa yang menimpa kita, atau menghindari penudingan ke faktor eksternal sebagai upaya untuk merebut tanggung jawab hidup.
“Untuk anak-anak, caranya adalah dengan melalui pengasuhan orangtua dan sekolah.”

Lakunya Yang Harus Mengalir
Mungkin, supaya kita tidak terjebak pada kualitas sikap mental yang rendah saat menerapkan konsep hidup mengalir bagai air adalah membedakan mana yang harus mengalir seperti air dan mana yang harus terus bergejolak secara positif (berdinamika), berkembang. Berdasarkan pengalaman umat manusia, yang perlu diupayakan untuk harus selalu bergejolak (menyusun berbagai rencana, menggagas berbagai ide, dan semisalnya) adalah jiwa atau batin kita. Jiwa memang harus terus hidup, berdinamika, berkembang, bergejolak. Jangan sampai jiwa kita mati karena akibatnya bisa mengundang penyakit atau memunculkan bau yang tidak enak, seperti air ketika berhenti.
Meski jiwa terus diupayakan bergejolak sebebas-bebasnya, namun laku / prilaku / jurus-jurus hidup kita haruslah tetap mengalir bagai air supaya tidak patah menghadapi kenyataan. Kalau prilaku kita kaku sepeti kayu, ia mudah patah atau dipatahkan, baik oleh keadaan atau orang. Laku kita harus mengalir bagai air, dalam arti fokus pada tujuan dan fleksibel terhadap keadaan. Atau kalau mengikuti ajaran leluhur Jawa, jiwa dan raga kita haruslah selalu diupayakan berproses dalam: Cipto, Roso, Karso, dan Karyo. Cipto artinya menciptakan sesuatu di alam mental (rencana, ide-ide pengembangan, dst), Roso artinya merasakan apakah yang kita ciptakan itu sudah OK atau tidak, sedangkan Karso adalah memunculkan kehendak yang kuat untuk mewujudkan apa yang telah kita ciptakan di alam mental itu supaya menjadi Karyo (karya). Namun demikian, karakter laku (fisik) kita haruslah Rilo (menerima diri secara positif), Nerimo (menerima kenyataan secara positif), Temen (committed), Sabar dan tetap Berbudi luhur.

Masuk Golongan Manakah Kita?
Intinya, konsep hidup mengalir bagai air itu ada dua golongan, yaitu: ada yang karena saking rendahnya kemampuan kita dalam menggunakan kapasitas diri sehingga kita memilih tidak peduli / membiarkan semua terjadi. Tetapi, ada yang karena saking sudah ahlinya kita mengelola diri sehingga tidak perlu berpikir terlalu serius, mungkin seperti Pak Bob dan orang-orang yang sudah ahli lainnya. Hanya kita yang tahu termasuk golongan manakah kita. 


Keseimbangan Hidup

Dikisahkan, suatu hari ada seorang anak muda yang tengah menanjak karirnya tapi merasa hidupnya tidak bahagia. Istrinya sering mengomel karena merasa keluarga tidak lagi mendapat waktu dan perhatian yang cukup dari si suami. Orang tua dan keluarga besar, bahkan menganggapnya sombong dan tidak lagi peduli kepada keluarga besar. Tuntutan pekerjaan membuatnya kehilangan waktu untuk keluarga, teman-teman lama, bahkan saat merenung bagi dirinya sendiri.
Hingga suatu hari, karena ada masalah, si pemuda harus mendatangi salah seorang petinggi perusahaan di rumahnya. Setibanya di sana, dia sempat terpukau saat melewati taman yang tertata rapi dan begitu indah.
"Hai anak muda. Tunggulah di dalam. Masih ada beberapa hal yang harus Bapak selesaikan," seru tuan rumah. Bukannya masuk, si pemuda menghampiri dan bertanya, "Maaf, Pak. Bagaimana Bapak bisa merawat taman yang begitu indah sambil tetap bekerja dan bisa membuat keputusan-keputusan hebat di perusahaan kita?"
Tanpa mengalihkan perhatian dari pekerjaan yang sedang dikerjakan, si bapak menjawab ramah, "Anak muda, mau lihat keindahan yang lain? Kamu boleh kelilingi rumah ini. Tetapi, sambil berkeliling, bawalah mangkok susu ini. Jangan tumpah ya. Setelah itu kembalilah kemari".
Dengan sedikit heran, namun senang hati, diikutinya perintah itu. Tak lama kemudian, dia kembali dengan lega karena mangkok susu tidak tumpah sedikit pun. Si bapak bertanya, "Anak muda. Kamu sudah lihat koleksi batu-batuanku? Atau bertemu dengan burung kesayanganku?"
Sambil tersipu malu, si pemuda menjawab, "Maaf Pak, saya belum melihat apa pun karena konsentrasi saya pada mangkok susu ini. Baiklah, saya akan pergi melihatnya."
Saat kembali lagi dari mengelilingi rumah, dengan nada gembira dan kagum dia berkata, "Rumah Bapak sungguh indah sekali, asri, dan nyaman." tanpa diminta, dia menceritakan apa saja yang telah dilihatnya. Si Bapak mendengar sambil tersenyum puas sambil mata tuanya melirik susu di dalam mangkok yang hampir habis.
Menyadari lirikan si bapak ke arah mangkoknya, si pemuda berkata, "Maaf Pak, keasyikan menikmati indahnya rumah Bapak, susunya tumpah semua".
"Hahaha! Anak muda. Apa yang kita pelajari hari ini? Jika susu di mangkok itu utuh, maka rumahku yang indah tidak tampak olehmu. Jika rumahku terlihat indah di matamu, maka susunya tumpah semua. Sama seperti itulah kehidupan, harus seimbang. Seimbang menjaga agar susu tidak tumpah sekaligus rumah ini juga indah di matamu. Seimbang membagi waktu untuk pekerjaan dan keluarga. Semua kembali ke kita, bagaimana membagi dan memanfaatkannya. Jika kita mampu menyeimbangkan dengan bijak, maka pasti kehidupan kita akan harmonis".
Seketika itu si pemuda tersenyum gembira, "Terima kasih, Pak. Tidak diduga saya telah menemukan jawaban kegelisahan saya selama ini. Sekarang saya tahu, kenapa orang-orang menjuluki Bapak sebagai orang yang bijak dan baik hati".
Teman-teman yang luar biasa,
Dapat membuat kehidupan seimbang tentu akan mendatangkan keharmonisan dan kebahagiaan. Namun bisa membuat kehidupan menjadi seimbang, itulah yang tidak mudah.
Saya kira, kita membutuhkan proses pematangan pikiran dan mental. Butuh pengorbanan, perjuangan, dan pembelajaran terus menerus. Dan yang pasti, untuk menjaga supaya tetap bisa hidup seimbang dan harmonis, ini bukan urusan 1 atau 2 bulan, bukan masalah 5 tahun atau 10 tahun, tetapi kita butuh selama hidup. Selamat berjuang!
Demikian dari saya, Andrie Wongso - action and wisdom motivation training.
Success is my right, sukses adalah hak saya!
Salam sukses luar biasa!!

Minggu, 01 Agustus 2010

Pria Teliti dan Agak Emosional Bikin Wanita Sehat oleh Professor psikologi, Brent Roberts dari University of Illinois

Mencari pasangan ideal memang gampang-gampang susah. Bagi wanita yang ingin mencari pasangan sehat, sebaiknya carilah pria yang teliti dan agak emosional. Peneliti melaporkan pria tipe itu akan membawa untung yang besar bagi kesehatan wanita.

Jika sebelumnya sebuah studi menyarankan agar pria menikah dengan wanita pintar kalau ingin sehat dan berumur panjang. Kini kabar baik untuk para wanita adalah, nikahilah pria yang punya sikap teliti, bersungguh-sungguuh dan sedikit emosional jika ingin sehat.

"Pria yang punya sikap teliti dan bersungguh-sungguh akan lebih teratur, bertanggung jawab serta lebih mudah mengikuti aturan. Beruntunglah wanita yang mendapat pasangan pria dengan sifat ini," ujar Professor psikologi, Brent Roberts dari University of Illinois seperti dilansir Sciencedaily.

Dalam jurnal Psychological Science, disebutkan bahwa pria yang punya sikap teliti akan membawa efek kesehatan yang baik untuk pasangan wanitanya, terutama karena mereka tahu apa yang baik dan yang tidak, baik untuk dirinya apalagi pasangannya.

Peneliti sudah menduga hal ini sejak tahun 1990-an. Pria yang punya sikap demikian diduga bisa berumur panjang. "Mereka diketahui lebih banyak berolahraga, makan makanan bergizi, minum vitamin dan jarang merokok. Itulah yang membuat mereka juga memiliki hubungan yang awet jika sudah berpasangan," ujar Robert.

Robert dan rekannya meneliti sekitar 2.000 pasangan untuk mengetahui apakah ada pengaruhnya antara sifat seseorang terhadap kesehatan pasangannya.

Partisipan diminta mengisi kuesioner untuk mengetahui seberapa besar level sikap mereka, diantaranya sikap kesabaran, ketelitian dan sikap-sikap lainnya. Riwayat kesehatan dan kebiaasaan sehari-hari partisipan pun dianalisis.

Hasilnya, partisipan yang punya sikap ketelitian yang tinggi dilaporkan memiliki riwayat kesehatan yang paling baik. Tak hanya menguntungkan bagi dirinya sendiri, tapi sikap teliti itu juga bisa berdampak pada pasangannya. Wanita yang menikah dengan pria tipe itu juga dilaporkan memiliki kesehatan yang baik.

"Sikap teliti dan bersungguh-sungguh itu bisa menular pada pasangan, terutama pasangan yang sudah menikah. Pria dengan sikap teliti dan bersungguh-sungguh akan senantiasa mengingatkan pasangan wanitanya untuk cermat dalam melakuukan sesuatu, termasuk dalam hal kesehatan," ujar Robert.

Selain sikap teliti dan bersungguh-sungguh, efek kesehatan akan lebih baik lagi ketika pria itu memiliki sifat sedikit emosional. "Sikap emosional itu menunjukkan bahwa pria bisa membimbing dan mengingatkan pasangannya jika salah langkah. Tapi bukan berarti ia menjadi kasar," jelas Robert.

"Jika diibaratkan, efeknya hampir sama dengan efek aspirin untuk mengobati penyakit kardiovaskular," tambahnya.

Jadi jika seorang pria punya kebiasaan mencuci piring tanpa komplain, memberi obat saat sakit, membuat masakan saat tidak diminta, memilih barang belanja dengan sangat cermat, mengerjakan pekerjaan dengan hati-hati dan marah jika wanita berbuat salah, ia adalah calon suami yang menyehatkan.

(Berbagai Sumber)