Oleh : Final Prajnanta*(Motivator)
Banyak sekali artis terkenal atau public figure yang sering diwawancara wartawan mengenai falsafah hidupnya. Secara klise mayoritas menjawab “Saya akan menjalani hidup seperti air mengalir”. Kedengarannya enak, penuh filosofi dan sedikit puitis. Apakah anda setuju dengan ungkapan tersebut. Mengapa? Apa benar mengikuti aliran air akan membawa kita hidup layak? Mari kita kupas bersama.
Misal anda pengin punya target A. Kita jalani aja hidup apa adanya seperti aliran air. Seandainya aliran air bisa membawa kita sampai ke tempat tujuan yang kita inginkan, wah enak sekali. Seandainya pada saat air mengalir, kita tersangkut di ranting pepohonan di sungai, bagaimana? Atau menuju ke tempat yang tidak kita kehendaki?
Beberapa cerita di bawah ini semoga bisa memberikan inspirasi buat anda.
Sebut saja Vita, seorang gadis desa sekitar 300 km dari Jakarta. Vita memimpikan gemerlapnya kehidupan kota. Dengan bekal pendidikan SMA, Vita bermimpi bekerja ringan dengan bergelimang uang. Ketika ada tawaran bekerja dari rekannya yang sudah ”sukses” di Jakarta, Vita segera menyambar peluang tersebut. Tawaran pekerjaannya sebagai pramuniaga rokok ternyata hanya sekedar kedok belaka. Temannya ”sukses” bergelimang uang dengan kerja ringan karena melakukan pekerjaan sampingan sebagai penghibur “hidung belang”. Namanya toh hidup laksana air mengalir, Vita pun tidak keberatan melakukannya. Impiannya untuk hidup bergelimang uang yang penting tercapai walau jalan airnya tersangkut di lembah kemaksiatan. Vita tidak punya komitmen untuk mencapai goalnya dengan cara-cara yang terpuji!
Contoh lain kita ambilkan dari dunia pertanian. Kita amati petani-petani kita sering latah atau ikut-ikutan. Si Ahmad sukses menanam cabai di musim hujan. Perlu diketahui bahwa sangat sulit untuk sukses menanam cabai di musim hujan. Menanam cabai di musim hujan ibarat melawan arus. Hujan menyebabkan banyak buah yang rontok karena serangan lalat buah dan penyakit patek (Antrachnosa). Pedagang rame-rame mendatangi kebunnya saat itu. Cabainya dihargai Rp 10.000/kg, sementara biaya produksinya Rp 3.000/kg. Jadi, ada selisih Rp 7.000/kg. Bayangkan jika dia menanam 1 hektar yang kira-kira menghasilkan 10 ton cabai? Dalam waktu 3 bulan Ahmad meraup untung Rp 70.000.000 bukan? Musim berikutnya adalah akhir musim hujan, pengelolaan tanaman akan mudah karena musim hujan segera berakhir dan panenan terjadi di musim kemarau.
Ternyata tidak hanya Ahmad yang menanam cabai, semua petani di sekitarnya beralih dari padi ke cabai. Mengapa? Mereka hanyut dalam arus dan mimpi yang indah oleh keuntungan yang diperoleh Ahmad musim lalu. Lagian menanam cabainya lebih gampang karena masuk di musim kemarau. Karena gampang maka semua petani juga menanam. Akibatnya apa? Harga cabai di musim tersebut menjadi hancur, hanya Rp 3.500/kg. Jika saya sebagai petani, mengetahui semua petani menanam cabai maka saya harus berbeda dengan yang lain. Saya akan menanam semangka, kol bunga, melon, tomat atau tanaman lainnya. Jika semua menanam hal yang sama maka harga akan jatuh, hukum ekonomi mengatakan bahwa supply (penawaran) melebihi dari demand (permintaan).
Jika kita memiliki goal yang SMART, maka kita akan tahu ke mana arah yang kita tuju. Memerlukan komitmen dan perjuangan yang keras untuk mencapai goal kita. Di dunia ini tidak ada hasil optimal dengan perjuangan minimal. David. J. Schwartz pernah mengatakan bahwa ”Think little goals and expect little achievements. Think big goals and win big success.” (Pikirkan goal-goal yang kecil dan harapkan hasil yang kecil juga. Pikirkan goal-goal yang besar dan menangkan sukses yang besar pula!).
Kesimpulannya: jangan mengikuti aliran air, karena aliran air belum tentu membawa keberuntungan. Aliran air belum tentu membawa anda ke tujuan yang ingin anda capai!
_____________________________________________________________________________________
Bisakah Kita Hidup Menngalir bagaikan AIR..??
Seorang kawan yang kebetulan sedang menyampaikan materi pelatihan tentang bagaimana hidup ini harus dikelola, sempat agak kurang bahagia mendengar jawaban salah seorang peserta. Saat si kawan ini menanyakan bagaimana Anda menjalani hari-hari di kantor atau di rumah, yang ditanya menjawab begini: “Saya menjalaninya seperti air yang mengalir!”
“What …?”, kata kawan saya. “Maksudnya seperti apa? Apakah Anda punya rencana lalu itu Anda jalankan pelan-pelan, seperti air yang mengalir, ataukah Anda sama sekali tidak punya rencana yang Anda perjuangkan sehingga hari-hari Anda mengalir begitu saja?” tanya kawan saya ini yang penasaran ingin tahu penjelasannya lebih lanjut. Setelah dicecar dengan berbagai pertanyaan, ternyata jawaban “Saya menjalaninya seperti air yang mengalir” itu terinspirasi dari ucapan Pak Bob Sadino dalam sebuah seminar yang pernah diikutinya. Memang, dalam berbagai kesempatan, tokoh bisnis yang satu ini, kerap melontarkan pernyataan dan sikap yang nampak sepertinya berlawanan dengan formula manajemen atau juga berlawanan dengan bagaimana umumnya manusia berpikir.
Misalnya beliau lebih dari satu kali mengatakan bahwa hidupnya dan caranya mengendalikan bisnisnya tidak pakai rencana yang benar-benar direncanakan, tapi dijalankan seperti air mengalir. Sampai ada ungkapan begini: “Cukup satu langkah awal. Ada kerikil saya singkirkan. Melangkah lagi. Bertemu duri saya sibakkan. Melangkah lagi. Terhadang lubang saya lompati. Melangkah lagi. Bertemu api saya mundur. Melangkah lagi. Berjalan terus dan mengatasi masalah”, seperti pernah dikutip Majalah Manajemen, PPM. Padahal, jika kita mengacu ke berbagai formula dalam manajemen, supaya hidup kita ini ordered dan dynamic atau terkelola dengan baik (life-management), maka yang dibutuhkan adalah: Planning (rencana pengembangan), Assessing (penilaian diri dan keadaan untuk menemukan titik temu antara rencana, kapasitas, dan keadaan), dan Motivating (bahan bakar, motivasi yang mendorong kita untuk terus maju atau tetap tegar dalam menghadapi masalah).
Yang menjadi pertanyaan adalah, apa benar orang-orang seperti Pak Bob, dan lain-lain itu menjalani hidup bagai air mengalir yang pengertiannya adalah tanpa rencana, tanpa target, tanpa perjuangan, dan seterusnya? Kalau dilihat dari hasil yang diraihnya, mungkin kita perlu melihat penjelasan lain.
“Secara manajemen, supaya hidup kita ini ordered dan dynamic, maka yang dibutuhkan adalah: planning, assessing dan motivating“
Skala Keahlian
Di setiap bidang keahlian yang kita tekuni itu ternyata ada tingkatannya atau skala pencapaian, dari yang paling rendah sampai yang paling tinggi. Ini mencakup keahlian mental (soft skill) atau keahlian kerja (hard skill). Secara umum, indikasi skala rendah atau tinggi itu terletak pada: apakah kita masih mikir dalam menerapkan keahlian itu atau tidak. Misalnya saja keahlian menyetir kendaraan. Ketika kita masih mikir, habis gigi satu itu harus gigi dua, dan seterusnya, berarti skala keahlian kita di situ masih rendah. Tapi jika kita sudah bisa menyetir kendaraan tanpa mikirin teknik-tekniknya, berarti skala keahlian kita sudah tinggi. Semua gerakan sudah diatur oleh naluri yang terlatih. Kalau melihat hasilnya, orang seperti Pak Bob sudah masuk di sini. Cara kerja dunia yang seperti ini diterapkan juga oleh Gordon Training (1970) dalam memformulasi pengembangan skill SDM di perusahaan. Menurut formula mereka, skill SDM harus dikembangkan dengan memperhatikan 4 tahapan berikut ini:
- Unconsciously unskilled: mereka belum sadar kalau kompetensinya rendah
- Consciously unskilled: mereka sudah mulai menyadari kompetensinya yang rendah lalu memunculkan keinginan untuk belajar / menerima diajar
- Consciously skilled: mereka sudah menguasai skill / kompetensi yang diajarkan, namun dalam menerapkannya masih mikir atau lamban karena belum biasa.
- Unconsciously skilled: mereka sudah biasa dengan skill baru, menerapkannya tanpa beban atau sudah secara naluri.
Orang yang hidupnya mengalir seperti air, namun prestasinya secara nyata bagus, bisa dimasukkan pada level 4, dalam arti nalurinya sudah bekerja secara otomatis, sehingga tampak tak berpikir dengan serius. Ada penjelasan lain yang juga bisa kita pakai patokan, apakah mengalirnya kita itu karena keahlian yang sudah tinggi atau justru karena tidak peduli. Penjelasan ini mengaitkan bagaimana pengetahuan itu dikuasai manusia. Secara umum, tingkat penguasaan kita terhadap pengetahuan tertentu itu dibagi dua, yaitu:
a) Tacit Knowledge
Secara tingkatan, begitu kita sudah berhasil memiliki pengetahuan itu sebagai Tacit Knowledge (Tacit: diam-diam, alami), berarti keahlian kita sudah makin tinggi. Oleh Prof. Stenberg (Practical Intelligence, Fall: 2003), ciri-ciri Tacit Knowledge itu antara lain:
- Ilmu ini sudah berupa prosedur batin tentang bagaimana suatu pekerjaan seharusnya dikerjakan agar tujuan usaha tercapai.
- Ilmu ini bukan sebuah ilmu yang didapat dari “diajar” oleh orang lain, tetapi buah dari pembelajaran atau penemuan dari ketekunan atau praktek
- Ilmu ini merupakan pengetahuan tentang hal-hal yang secara personal punya arti tersendiri.
b) Codified Knowledge
Kalau Anda masih memetik gitar menurut formula yang diajarkan di kursus, berati masih berdasarkan Code (Codified). Tapi jika semua itu bekerja berdasarkan formula batin yang Anda temukan dari latihan dan ketekunan, berari itu sudah Tacit. Banyak pengusaha yang saking sudah biasanya mengkalkulasi peluang sehingga dia bisa melakukannya sambil bercanda atau tidak terlalu serius. Ada penjelasan lain yang bisa kita pakai acuan juga. Ini misalnya dikaitkan dengan cara mengambil keputusan. Menurut bukunya John Arnold (Work Psychology:1977), cara orang mengambil keputusan itu dibedakan menjadi tiga:
- Rational: mempertimbangkan untung-rugi, kelebihan-kekurangan
- Intuitive: berdasarkan irama perasaan yang mengilhami seseorang
- Dependent: menunggu atau melihat keadaan dan reaksi orang lain
Merujuk pada cara di atas, berarti konsep hidup mengalir bagai air itu menjadi kebiasaan yang sangat nyaman bagi orang yang cara mengambil keputusannya lebih mengandalkan intuisi. Semua orang memiliki intuisi, tetapi kadar kecerdasan intuisi manusia berbeda-beda dan perbedaan ini termasuk hak veto Tuhan yang tidak bisa diganggu gugat.
“Banyak pengusaha yang saking sudah biasanya mengkalkulasi peluang sehingga dia bisa melakukannya sambil bercanda atau tidak terlalu serius”
Menjadi Pelarian Sikap Mental
Memang, menurut akal sehat, yang perlu kita jauhi adalah: kita punya konsep hidup mengalir bagai air, namun itu kita lakukan sebagai pelampiasan kemalasan atau ketidakpedulian untuk menggunakan potensi diri guna meraih prestasi yang mestinya bisa kita raih. Lebih tepatnya bisa disebut menghindari perjuangan. Kenapa ini perlu dijauhi? Sampai ini sudah menjadi pilihan kita, maka larinya bukan ke gaya hidup yang “terserah gue dong” itu, melainkan masuk ke wilayah kualitas sikap mental. Secara sikap mental, manusia bisa dikelompokkan menjadi tiga:
- Ada manusia yang memperburuk dirinya dengan sikapnya dalam menghadapi hidup, misalnya berpikir tidak punya kelebihan, lari ke hal-hal yang merusak atau menganiaya dirinya sendiri. Dalam agama, sikap seperti ini hukumannya berat.
- Ada manusia yang membiarkan hal-hal buruk terjadi karena malas berjuang atau pasrah kalah pada keadaan buruk atau merelakan diri dianiaya oleh faktor eksternal.
- Ada manusia yang memilih untuk mencari berbagai jalan keluar (creative) atau berjuang untuk mewujudkan ide-ide positif berdasarkan keadaan dan kapasitasnya atau memberdayakan kapasitas dirinya, orang lain, dan keadaan.
Secara kualitas, sikap mental yang perlu kita miliki adalah yang ketiga. Menurut bukunya Napoleon Hill (You Can Work Your Own Miracles: 1971 ), supaya sikap mental yang ketiga itu kita miliki, syaratnya adalah:
- Menyalakan keinginan untuk berubah ke arah yang lebih baik secara terus menerus sesuai keadaan dan kemampuan
- Melatih pikiran (mind) supaya terbiasa memilih tujuan / target / tindakan yang positif
- Banyak-banyak bergaul atau belajar dengan orang-orang positif
- Meningkatkan kemampuan mengontrol diri agar tidak mudah larut, hanyut, atau terpengaruh oleh hal-hal negatif
- Memberikan rangsangan pada pikiran dengan hal-hal positif, misalnya membaca yang memotivasi jiwa, dll.
Bagaimana supaya kita memiliki keinginan yang terus menyala? Untuk anak-anak, caranya adalah dengan melalui pengasuhan orangtua dan sekolah. Tapi, untuk orang dewasa, caranya adalah dengan “memaksa” diri melalui pembiasaan, pemaknaan peristiwa yang menimpa kita, atau menghindari penudingan ke faktor eksternal sebagai upaya untuk merebut tanggung jawab hidup.
“Untuk anak-anak, caranya adalah dengan melalui pengasuhan orangtua dan sekolah.”
Lakunya Yang Harus Mengalir
Mungkin, supaya kita tidak terjebak pada kualitas sikap mental yang rendah saat menerapkan konsep hidup mengalir bagai air adalah membedakan mana yang harus mengalir seperti air dan mana yang harus terus bergejolak secara positif (berdinamika), berkembang. Berdasarkan pengalaman umat manusia, yang perlu diupayakan untuk harus selalu bergejolak (menyusun berbagai rencana, menggagas berbagai ide, dan semisalnya) adalah jiwa atau batin kita. Jiwa memang harus terus hidup, berdinamika, berkembang, bergejolak. Jangan sampai jiwa kita mati karena akibatnya bisa mengundang penyakit atau memunculkan bau yang tidak enak, seperti air ketika berhenti.
Meski jiwa terus diupayakan bergejolak sebebas-bebasnya, namun laku / prilaku / jurus-jurus hidup kita haruslah tetap mengalir bagai air supaya tidak patah menghadapi kenyataan. Kalau prilaku kita kaku sepeti kayu, ia mudah patah atau dipatahkan, baik oleh keadaan atau orang. Laku kita harus mengalir bagai air, dalam arti fokus pada tujuan dan fleksibel terhadap keadaan. Atau kalau mengikuti ajaran leluhur Jawa, jiwa dan raga kita haruslah selalu diupayakan berproses dalam: Cipto, Roso, Karso, dan Karyo. Cipto artinya menciptakan sesuatu di alam mental (rencana, ide-ide pengembangan, dst), Roso artinya merasakan apakah yang kita ciptakan itu sudah OK atau tidak, sedangkan Karso adalah memunculkan kehendak yang kuat untuk mewujudkan apa yang telah kita ciptakan di alam mental itu supaya menjadi Karyo (karya). Namun demikian, karakter laku (fisik) kita haruslah Rilo (menerima diri secara positif), Nerimo (menerima kenyataan secara positif), Temen (committed), Sabar dan tetap Berbudi luhur.
Masuk Golongan Manakah Kita?
Intinya, konsep hidup mengalir bagai air itu ada dua golongan, yaitu: ada yang karena saking rendahnya kemampuan kita dalam menggunakan kapasitas diri sehingga kita memilih tidak peduli / membiarkan semua terjadi. Tetapi, ada yang karena saking sudah ahlinya kita mengelola diri sehingga tidak perlu berpikir terlalu serius, mungkin seperti Pak Bob dan orang-orang yang sudah ahli lainnya. Hanya kita yang tahu termasuk golongan manakah kita.